top of page

Substance Over Form: Prinsip yang Seharusnya Berlaku Dua Arah

  • Writer: Fathah Oscar
    Fathah Oscar
  • 5 days ago
  • 2 min read

Kerangka Hukum & Tujuan

Reformasi pasca UU HPP (UU 7/2021) dan PP 55/2022 menegaskan ruang bagi otoritas untuk menilai hakikat ekonomi transaksi bahkan melakukan re-characterization ketika bentuk yuridis tidak mencerminkan substansinya atau umumnya disebut dengan istilah “Substance over Form”. Tujuan kebijakannya jelas, yaitu mencegah penghindaran pajak tanpa mengorbankan netralitas dan kepastian hukum.


Form vs Substansi: Pergeseran Paradigma

Selama bertahun-tahun, praktik perpajakan di Indonesia kerap terjadi “form-heavy”, misalnya saat terjadi kekeliruan administratif minor pada dokumen (mis. faktur pajak) bisa menggugurkan hak pengkreditan, meski transaksi penyerahan, pembayaran, dan manfaat ekonomi dapat dibuktikan secara nyata. Dengan kerangka baru, substansi ekonomi yang nyata harus diutamakan. Namun, dengan adanya penerapan substance over form saat ini, kerangka hukumnya secara eksplisit ditempatkan di aturan PPh (PP 55/2022). Titik tekannya yaitu ketika ada praktik penghindaran pajak atau transaksi yang “label hukum” nya tidak selaras dengan isi ekonominya, DJP berwenang menentukan kembali pajak yang seharusnya terutang “dengan berpedoman pada prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya.” Ini tertulis tegas dalam Pasal 32 ayat (4) PP 55/2022


Pertanyaannya:

Berkaitan dengan keadilan prosedural, apakah apakah prinsip yang sama juga berlaku untuk Wajib Pajak ketika yang terjadi justru cacat formil yang tidak berkaitan dengan niat menghindari pajak?

 

Dalam praktik Coretax, kita sering mendengar berita error input nominal di e-Faktur, lampiran restitusi yang gagal terunggah, atau glitch lain yang membuat dokumen tampak tidak “sempurna”, padahal penyerahan, pembayaran, dan manfaat ekonomi bisa teruji kuat.


Lalu, di mana ruang bagi Wajib Pajak?


Inilah tantangan implementasi terkait kerangka hukum untuk Substance over Form saat ini lebih banyak memberikan instrumen kepada fiskus. Belum ada mekanisme kerangka hukum setara yang memungkinkan WP dapat menuntut penerapan prinsip serupa ketika kesalahan terjadi karena kendala sistem, beban administratif yang tidak seimbang, atau kegagalan teknis Coretax padahal transaksi nyata, pembayaran sah, dan manfaat ekonominya dapat dibuktikan.


Pertanyaan reflektif:

Jika substansi dapat digunakan untuk menembus “bentuk” ketika WP dianggap menghindari pajak, apakah keadilan fiskal tidak menuntut instrumen serupa ketika justru “bentuk” yang gagal karena sistem otoritas, sementara substansi WP sepenuhnya benar?


Selama belum ada remedy yang setara, risiko form over justice masih terbuka. Mungkin saatnya diperlukan kerangka kompensasi atau safe-harbour administratif, yang membolehkan WP mempertahankan hak perpajakan apabila substansi ekonomi dapat dibuktikan, terlepas dari kesalahan formil yang terjadi bukan karena itikad buruk.

Recent Posts

See All

© 2024 by PT Saran Solusi Tepat

Saran Solusi Office,
Perum Warubumi Aria Graha No.2
Jl. Mangesti Raya, Waru, Baki
Sukoharjo
57556

0271 - 789 0069

Contact Us
  • Instagram
  • LinkedIn
bottom of page